Selasa, 03 Februari 2015

MENYESAL KEMUDIAN TIADA BERGUNA DI WUDUWOU

Cukup banyak anak-anak di negeri  mapiha ini yang sudah belajar menabung sejak dini. Oleh orang tuanya, ada yang dibelikan celengan untuk diisi sejumlah uang setiap hari, setiap minggu, setiap dua minggu, dan seterusnya.

Bahkan, terlepas dari pro dan kontra, tidak sedikit sekolah dasar atau yang sederajat yang memfasilitasi siswanya menabung. Tujuannya agar kelak sesudah dewasa mereka terbiasa atau terlatih merancang masa depannya.

Ketika anak saya diajarkan untuk  menabung melalui guru di sekolahnya, saya berikan Rp 5.000 per minggu. Saat itu saya berpikir sederhana saja, jika anak saya secara teratur menabung Rp 5.000 per minggu maka dalam sebulan akan terkumpul Rp 20 ribu.

Asumsinya, dalam satu tahun pelajaran akan  terkumpul Rp 200 ribu maka saat anak saya tamat sekolah dasar akan terkumpul Rp 1,2 juta. Jumlah yang lumayan besar. Apalagi, jika anak saya dapat menabung dalam jumlah lebih besar.

Namun, angan-angan mengajarkan anak saya menabung tidak berjalan mulus. Sejak anak saya kelas tiga atau kelas empat, dia sudah mulai malas atau jarang menabung. Alasannya macam-macam mulai dari gurunya berhalangan hadir hingga uangnya terpakai untuk jajan.

Akibatnya, uang tabungan yang sudah disimulasikan sejak awal tidak tercapai. Waktu berlalu hampir tidak terasa. Undangan pelepasan kelas enam sudah di tangan. Alkisah, kami berbagi tugas. Saat itu, istri saya  berangkat menghadiri prosesi pelepasan kelas enam tersebut.

Rupanya pada acara itulah seluruh tabungan siswa dibagikan atau lebih tepatnya dikembalikan kepada pemiliknya. Hasilnya? Anak saya hanya berhasil mengumpulkan Rp 575 ribu.  Dia pun menyesal setelah tahu ada temannya yang mengumpulkan belasan juta rupiah!

Dalam konteks Islam, dalam hidup yang sebentar ini mestinya diisi dengan investasi atau menabung amal saleh. Kita mesti ingat, Ad-Dunyaa mazra’atu al-aakhirati atau dunia adalah ladang akhirat. Siapa menanam kebaikan, niscaya menuai kebaikan.

Siapa menanam keburukan, niscaya menuai keburukan. Bahkan, bukan sekadar itu. Siapa menanam banyak, niscaya menuai banyak. Siapa menanam sedikit, niscaya menuai sedikit. Lalu, bagaimana?


Penulis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar