SMA NEGERI 1 DOGIYAI MAPIHA
PUISI KARYA
SISWA-SISWI SMA N.1.DOGIYAI
Puisi menuntut
seorang penyair untuk dapat mengungkapkan gagasan kreatifnya secara ringkas
namun berdaya guna menghasilkan efek tertentu pada pembaca. Dalam hal puisi,
tentu saja, efek yang dimaksud tersebut akan sangat bergantung kepada daya
apresiasi pembaca atas karya puisi dimaksud. Dalam tulisan ini baiklah efek
dimaksud kita sebut saja sebagai "efek puitik", yaitu efek, baik yang
kasat mata maupun yang tidak kasat mata, di sisi pembaca sebagai tanggapan atas
pembacaannya pada sebuah karya puisi.
Efek puitik ini bisa
saja sama atau berbeda antara pembaca satu dengan yang lainnya sebab di
dalamnya tercakup unsur-unsur puitik apa saja yang mampu dicerna oleh pembaca
tersebut, apakah unsur-unsur estetika, makna, emosi ataukah bahkan unsur
spiritual. Daya cerna pembaca satu dengan yang lainnya tentu sangat mungkin
berbeda tergantung "bekal puitik" yang dimilikinya.
Penyair, terutama
yang masih mula-mula menggauli puisi, sering tergoda untuk memilih kata-kata,
frasa, atau idiom yang indah-indah sebagaimana sering dijumpai dalam
karya-karya sastra klasik, syair-syair lagu, atau kartu-kartu ucapan hari
khusus, seolah-olah kata-kata tersebut serta-merta membuat sebuah sajak menjadi
"indah". Estetika bahasa seolah diyakini dapat dicapai melalui
penggunaan idiom-idiom yang klise tersebut, yang cenderung
"berbunga-bunga".
Efek estetik seakan
menjadi satu-satunya yang penting dalam proses penciptaan puisi, sehingga
rekan-rekan penyair yang muda pengalaman sering kali melupakan elemen-elemen
lain yang tak kalah pentingnya dalam puisi. Bukankah terlalu terpaku pada
polesan kosmetika sering beresiko memudarkan inner beauty, "kecantikan
dalam", aura seseorang?
Begitu pula puisi,
ada "tenaga dalam" yang juga (lebih) perlu mendapatkan perhatian
penyair. Diksi, sedikit banyak memegang peranan penting dalam memunculkan
kekuatan-kekuatan sebuah karya puisi, baik secara fisik semisal unsur bunyi
(musikalitas), keunikan komposisi, maupun secara nonfisik seperti picuan
asosiasi makna yang terbangkit dalam benak dan hati pembaca, getar emosi
tertentu atau bahkan debar spiritual yang tak terjelaskan yang dirasakan oleh
seseorang seusai membaca sebuah karya.
Diksi tentu tak bisa
dilepaskan dari kosa kata. Agar seorang penyair mampu mengolah diksi, ia
dituntut memiliki perbendaharaan kata yang cukup kaya serta upaya yang tekun
dan tak kenal menyerah untuk mencari kemungkinan-kemungkinan bentukan komposisi
kata yang unik, segar, dan menyarankan kebaruan pada kadar tertentu. Di dalam puisi
setiap kata, frasa atau bahkan larik diupayakan untuk hadir dengan alasan yang
lebih kuat daripada sekedar untuk dekorasi semata. Sedapat mungkin kata-kata
yang dipilih itu merangkum sebanyak mungkin tenaga potensial puitik, sehingga
pada saatnya mampu memicu syaraf-syaraf puitik pembaca. Kata-kata yang dipilih
dalam puisi sebaiknya bernas, telak, sekaligus enak didengar dan membekas dalam
benak pembaca.
Membekasnya sebuah
ucap-ucapan dalam puisi ini bisa jadi dikarenakan idiom tersebut memiliki
asosiasi tertentu yang membangkitkan emosi tertentu dalam diri pembaca, mungkin
karena mengingatkannya pada pengalaman pribadinya sendiri, atau karena idiom
tersebut memiliki keunikan tersendiri baik dalam hal bentuk atau bunyinya,
kebaruannya, atau bahkan keusilannya "mengerjai" simpul-simpul syaraf
puitik pembaca.
Memperkaya diri
dengan bacaan-bacaan lintas disiplin, wawasan bahasa lintas budaya, serta
pengalaman berbahasa maupun pengalaman batin secara luas baik dari interaksi
dengan orang lain, lingkungan maupun dengan diri sendiri adalah beberapa upaya
yang dapat disebut guna mengasah kepekaan diktif seorang penyair. Kekuatan
diksi dapat lambat laun dicapai melalui latihan-latihan empirik. Dari situlah
mungkin dapat dimengerti mengapa setiap penyair dapat dikenali gaya ucapnya
melalui diksi dalam rangkaian
karya-karya:puisinya.
Selamat berkarya!
Selamat berkarya!
SMA N.1.DOGIYAI DI BOMOMANI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar