Anakku…
Perkenankan aku hadir,
mengungkapkan kegelisahan hati ini, melalui untain kata-kata, melalui surat
ini. Mungkin kata-kata saya ini kurang berkenan di hatimu, anakku, saya meminta
maaf. Tetapi saya berusaha hadir di hadapanmu melalui surat ini, apa adanya,
dengan segala yang ada padaku, anakku.
Anakku..
baiklah sebelumnya kuucapkan rasa syukurku kepada Bapa di Surga, Sang Pemberi Kehidupan. Hanya karena dialah, saya masih dapat bertahan, memberimu anakku, makanan ala kadarnya dari segala keterbatasanku saat ini, dan engkau hidup. Menemanimu, di setiap hidup, karya, dan perjuanganmu, anakku. Sebelum terlambat, biarlah kutuliskan surat ini buat, anakku.
baiklah sebelumnya kuucapkan rasa syukurku kepada Bapa di Surga, Sang Pemberi Kehidupan. Hanya karena dialah, saya masih dapat bertahan, memberimu anakku, makanan ala kadarnya dari segala keterbatasanku saat ini, dan engkau hidup. Menemanimu, di setiap hidup, karya, dan perjuanganmu, anakku. Sebelum terlambat, biarlah kutuliskan surat ini buat, anakku.
Anakku, kita memang
sepantasnya bersyukur pada-Nya. Dia yang di Ataslah yang memberimu diriku untuk
engkau tempati, anakku. Aku tidak membencimu, hanya karena engkau berkulit
hitam, anakku. Aku tidak membencimu, hanya karena engkau berambut keriting,
anakku. Akulah ibumu, dan aku sangat mencintaimu, anakku. Akulah ibumu, yang
memelihara engkau, dengan susu dan madu, dan engkau hidup. Terpujilah Bapa yang
di Atas selama-lamanya, atas segala berkatnya ini.
Anakku..
Aku adalah Ibumu. Aku bangga karena engkau memanggilku ‘Mama’. Akulah Ibumu, tanah Papua, yang memeberimu kehidupan dengan segala yang ada padaku. Dan engkau hidup. Selamanya aku adalah Ibumu, dan selamanya engkau adalah anakku. Engkaulah permata hatiku.
Aku adalah Ibumu. Aku bangga karena engkau memanggilku ‘Mama’. Akulah Ibumu, tanah Papua, yang memeberimu kehidupan dengan segala yang ada padaku. Dan engkau hidup. Selamanya aku adalah Ibumu, dan selamanya engkau adalah anakku. Engkaulah permata hatiku.
Anakku ,di saat-saat
seperti ini, senyuman sering tersungging di bibirku. Bukan senyuman sinis,
anakku, tetapi senyuman kebahagiaan, mengenang masa lalu hidup kita yang sangat
indah dan harmonis.
Anakku…
Anakku…
Sejak engkau di dalam
kandungan ibumu, aku menanti-nantikan engkau dengan senang hati. Tak
henti-hentinya aku bersyukur kepada Dia yang di Atas, yang telah
menghadirkanmu, dan mempercayakanmu untuk diasuh olehku. Terus terang, aku
bangga engkau lahir. Aku bangga melahirkan manusia sepertimu. Engkau unik,
anakku. Tidak ada anak sepertimu, anakku, yang dimiliki oleh ibu-ibu yang lain
di dunia, seperti Afrika, Amerika, Australia, Asia, Sumatera, Jawa, dan lain
sebagainya. Engkau unik, anakku, dan engkau yang unik itu dipercayakan Dia yang
di Atas padaku. Sungguh, anakku.. bangganya aku memilikimu; Anakku, manusia
Papua.
Anakku…
Anakku…
Ketika engkau tumbuh
besar… aku berusaha membentuk karaktermu. Aku berusaha membuatmu merasa
memiliki semuanya yang kita punyai. Dengan kerasnya alam Papua, engkau
kuajarkan untuk menjadi pribadi yang tidak pernah mengenal kata menyerah.
Engkau berusaha kubentuk menjadi pribadi yang menyukai tantangan, dan
menjadikan tantangan dan kesukaran menjadi semangat untuk memperjuangkan hidup
yang lebih baik lagi.
Anakku…
Anakku…
Walau demikian, engkau
adalah permata hatiku. Aku menyayangimu. Dan kuberi apapun yang kau butuhkan,
hanya dengan sedikt kerja keras darimu, asalkan kau mau sedikit usaha. Anakku,
aku telah menyediakan diriku sebagai tanah yang sangat subur, dimana engkau
dapat bercocok tanam, dan hidup.
Aku telah menyediakan diriku sebagai air, di mata-mata air di seluruh tanah ini. Itulah air susu ibu, anakku. Dan dengan meminumnya, engkau kini tumbuh dewasa. Dengan kerasnya alam, aku merangsang engkau untuk dapat mengolah dan memanfatkan otak, pikiran, pemberian Dia yang di Atas, untuk kehidupanmu sehari-hari. Dan engkau berhasil. Engkau memang jenius, anakku.
Aku telah menyediakan diriku sebagai air, di mata-mata air di seluruh tanah ini. Itulah air susu ibu, anakku. Dan dengan meminumnya, engkau kini tumbuh dewasa. Dengan kerasnya alam, aku merangsang engkau untuk dapat mengolah dan memanfatkan otak, pikiran, pemberian Dia yang di Atas, untuk kehidupanmu sehari-hari. Dan engkau berhasil. Engkau memang jenius, anakku.
Anakku, akhirnya ingin
kukatakan, bahwa aku ingin membentukmu menjadi manusia yang berwatak keras,
dengan mimik muka yang keras. Itulah cirimu, anakku. Itulah gambaran semangat
hidupmu yang selalu dijiwai oleh kerja keras, dan pantang menyerah, yang hidup
di tengah kerasnya alam, tetapi melimpah ruah susu dan madunya, anakku.
Aku sangat bangga
padamu. Aku bangga, karena di dalam hitam kulitmu, dan mimik mukamu yang oleh
sebagaian orang disebut menyeramkan, Dia yang di Atas memberimu hati putih,
putih seputih salju abadi, anakku. Hatimu lembut, penyayang, punya hati nurani,
dan berbela rasa terhadap diriku sebagai ibumu, juga terhadap sesama dan alam.
Inilah yang menjadikanmu sampai saat ini disebut ‘manusia alam’; manusia yang
sangat berkaitan erat dengan alam. Aku bangga padamu, anakku, manusia hitam,
pemilik hati putih, seputih salju abadi.
Anakku.. bila engkau
sakit, akulah yang telah menyediaimu obat-obatan alami, tetapi sangat
berkhasiat untuk menyembuhkan semua sakit yang engkau derita. Anakku,
bersamaku, engkau aman, tenteram, dan sejahtera. Terpujilah Dia yang di Atas,
yang memberkatiku, dan memberkatimu, anakku.
Anakku…
Kehidupan kita dahulu sangatlah indah. Kita hidup saling berdampingan, dan saling membutuhkan. Kita saling berkaitan erat. Dan kita hidup harmonis, saling memberi. Kita hidup dahulu, saling menghargai sebagai layaknya anak dengan ibunya. Kita saling menghormati dan saling menjaga. Itulah kehidupan kita dahulu.
Kehidupan kita dahulu sangatlah indah. Kita hidup saling berdampingan, dan saling membutuhkan. Kita saling berkaitan erat. Dan kita hidup harmonis, saling memberi. Kita hidup dahulu, saling menghargai sebagai layaknya anak dengan ibunya. Kita saling menghormati dan saling menjaga. Itulah kehidupan kita dahulu.
Anakku…
Engkau, dengan setiap suku bangsamu, kubiarkan menempati wilayahnya masing-masing dariku. Aku berusaha adil padamu, anakku. Aku memeberikan semua yang engkau perlukan. Anakku Mee, Anakku Moni, anakku Lani, anakku Damal, dan anak-anakku yang tidak dapat kusebutkan satu persatu, pewaris tanah sorga ini. Ketahuilah, aku telah membagi diriku, dan memperhatikan dan memeliharamu masing-masing, dengan caraku sendiri, juga di tempat tinggalmu masing-masing.
Engkau, dengan setiap suku bangsamu, kubiarkan menempati wilayahnya masing-masing dariku. Aku berusaha adil padamu, anakku. Aku memeberikan semua yang engkau perlukan. Anakku Mee, Anakku Moni, anakku Lani, anakku Damal, dan anak-anakku yang tidak dapat kusebutkan satu persatu, pewaris tanah sorga ini. Ketahuilah, aku telah membagi diriku, dan memperhatikan dan memeliharamu masing-masing, dengan caraku sendiri, juga di tempat tinggalmu masing-masing.
Di dalam
kelompok-kelompok suku bangsa itu, engkau hidup. Tetapi dari sanalah engkau
kuajari rasa saling menghargai antara sesama suku bangsa. Engkau kuajari
bagaimana engkau harus hidup harmonis, walau ada sedikit perbedaan antar
kolompok suku bangsamu. Anakku… aku bangga padamu. Ketahuilah, jauh di balik
kelompok suku bangsamu itu, engkau hanyalah satu. Kulitmu sama sama hitam.
Rambutmu sama-sama keriting. Engkau adalah Papua, anakku. Engkau adalah satu;
anakku, anakku Papua.
Anakku…
Ketika engkau telah tua, dan telah mendapat perhentian, seperti nenek moyangmu, Aku berduka, anakku. Tetapi yang lebihnya dari itu, aku juga bangga padamu, karena engkau akan kembali lagi ke pelukanku. Aku mencintaimu, anakku, selamanya engkau adalah anakku, dan selamanya engkaulah permata hatiku, manusia berkulit hitam, pemilik hati putih.
Ketika engkau telah tua, dan telah mendapat perhentian, seperti nenek moyangmu, Aku berduka, anakku. Tetapi yang lebihnya dari itu, aku juga bangga padamu, karena engkau akan kembali lagi ke pelukanku. Aku mencintaimu, anakku, selamanya engkau adalah anakku, dan selamanya engkaulah permata hatiku, manusia berkulit hitam, pemilik hati putih.
Anakku…
Ketika engkau berjuang untuk eksistensi kita sebagai sebuah bangsa, aku juga turut berjuang dengan caraku, anakku. Dan, ketika symbol eksistensi kita, Sang Sampari berkibar, sungguh, bangganya aku ini. Yang harus kamu tahu, anakku, akau akan sangat bangga, ketika engkau merasa bangga. Dan akan ikut bersedih, jika salah satu diantaramu bersedih, anakku. Akulah ibumu, dan akulah yang paling mengetahui apa yang terjadi denganmu. Karena harus kamu tahu, bahwa kebanggaan dan sukacitamu adalah juga sukacitaku. Dan kesedihan dan dukacitamu, adalah juga dukacitaku.
Ketika engkau berjuang untuk eksistensi kita sebagai sebuah bangsa, aku juga turut berjuang dengan caraku, anakku. Dan, ketika symbol eksistensi kita, Sang Sampari berkibar, sungguh, bangganya aku ini. Yang harus kamu tahu, anakku, akau akan sangat bangga, ketika engkau merasa bangga. Dan akan ikut bersedih, jika salah satu diantaramu bersedih, anakku. Akulah ibumu, dan akulah yang paling mengetahui apa yang terjadi denganmu. Karena harus kamu tahu, bahwa kebanggaan dan sukacitamu adalah juga sukacitaku. Dan kesedihan dan dukacitamu, adalah juga dukacitaku.
Anakku…
Sejak hari bersejarah itu, setelah kau pilih kita bergabung dengan mereka di sana, engkau tahu anakku, sakitnya hati ini. Mengapa anakku? Tubuhku mulai dikoyak-koyak, anakku. Besi-besi panas menancap masuk, hingga ke dasar tubuhku yang paling dalam, anakku. Semua isi perutku diambil mereka semuanya. Anakku… aku kini mulai tidak berdaya. Mereka dengan kasarnya mengambil semua kepunyaanmu, sebagai harta warisanmu itu, yang selama ini kusimpan jauh di dalam tubuhku. Anakku.. aku tidak berdaya lagi… Apa kau rela membiarkan harta warisan leluhurmu ini diambil semuanya oleh mereka, anakku?
Sejak hari bersejarah itu, setelah kau pilih kita bergabung dengan mereka di sana, engkau tahu anakku, sakitnya hati ini. Mengapa anakku? Tubuhku mulai dikoyak-koyak, anakku. Besi-besi panas menancap masuk, hingga ke dasar tubuhku yang paling dalam, anakku. Semua isi perutku diambil mereka semuanya. Anakku… aku kini mulai tidak berdaya. Mereka dengan kasarnya mengambil semua kepunyaanmu, sebagai harta warisanmu itu, yang selama ini kusimpan jauh di dalam tubuhku. Anakku.. aku tidak berdaya lagi… Apa kau rela membiarkan harta warisan leluhurmu ini diambil semuanya oleh mereka, anakku?
Anakku…
Hutan-hutan tempat engkau bermain, tempat suaka margasatwa bernyanyi kini mulai dibabat, anakku. Anakku… gunung-gunung tinggi, dan danau tempat bersemayam roh leluhurmu, mulai kau izinkan untuk dicemari. Anakku, aku besedih. Dengan mataku sendiri aku melihat, engkau dengan bangganya berusaha mendatangkan proyek penghancuran atas diriku. Anakku, dengan bangganya engkau menempati kursi-kursi kepemimpinan, tetapi buta nurani ketika engkau menjadi pemimpin,anakku, engkaulah yang malah menandatangami proyek proyek penghancuran tubuhku. Anakku, sadarkah engkau dengan segala perbuatnmu ini? Anakku… dimana nuranimu kau siman? Teganya kamu melihatku begini….
Anakku, harusnya engkaulah yang harus melindungiku. Dari mana engkau hidup, bila tidak di atasku, dan bersamaku? Siapa yang akan menjagamu, bila aku tidak berdaya lagi? Ibu Afrika, Amerika, dan lainnya hanya akan memeperhatikan anak-anak mereka, anak Afrika, Amerika, dan lainnya. Aku, Ibumu, Mama dari semua orang Papua lah yang akan memperhatikanmu, anakku Papua. Anakku.. kini aku hanya dapat bertanya; sampai kapan besi-besi panas yang tertusuk jauh di dasar tubuhku ini, yang menghisap urat nadiku ini kau lepaskan?
Hutan-hutan tempat engkau bermain, tempat suaka margasatwa bernyanyi kini mulai dibabat, anakku. Anakku… gunung-gunung tinggi, dan danau tempat bersemayam roh leluhurmu, mulai kau izinkan untuk dicemari. Anakku, aku besedih. Dengan mataku sendiri aku melihat, engkau dengan bangganya berusaha mendatangkan proyek penghancuran atas diriku. Anakku, dengan bangganya engkau menempati kursi-kursi kepemimpinan, tetapi buta nurani ketika engkau menjadi pemimpin,anakku, engkaulah yang malah menandatangami proyek proyek penghancuran tubuhku. Anakku, sadarkah engkau dengan segala perbuatnmu ini? Anakku… dimana nuranimu kau siman? Teganya kamu melihatku begini….
Anakku, harusnya engkaulah yang harus melindungiku. Dari mana engkau hidup, bila tidak di atasku, dan bersamaku? Siapa yang akan menjagamu, bila aku tidak berdaya lagi? Ibu Afrika, Amerika, dan lainnya hanya akan memeperhatikan anak-anak mereka, anak Afrika, Amerika, dan lainnya. Aku, Ibumu, Mama dari semua orang Papua lah yang akan memperhatikanmu, anakku Papua. Anakku.. kini aku hanya dapat bertanya; sampai kapan besi-besi panas yang tertusuk jauh di dasar tubuhku ini, yang menghisap urat nadiku ini kau lepaskan?
Anakku…
Kini, kulihat kebersamaanmu itu mulai pudar. Rasa sebangsa dan setanah airmu mulai hilang. Bela rasa dan hati nuranimu mulai tumpul. Anakku, mengapa engkau mulai demikian? Aku tidak mengajarimu demikian… anakku, darimana kau dapatkan semua jalan menuju kebinasaan ini?
Anakku..
Kini, kulihat kebersamaanmu itu mulai pudar. Rasa sebangsa dan setanah airmu mulai hilang. Bela rasa dan hati nuranimu mulai tumpul. Anakku, mengapa engkau mulai demikian? Aku tidak mengajarimu demikian… anakku, darimana kau dapatkan semua jalan menuju kebinasaan ini?
Anakku..
Aku perhatikan engkau
baik-baik. Kepentingan diri sendirilah yang mulai kau perjuangkan. Kepentingan
kelompokmulah yang utama. Engkau anakku, dengan segala kehormatan dan
kekayaanmu, engkau mulai melupakan diriku. Engkau mulai melupakan Ibumu, yang
membesarkan engkau dengan air susu,dan madu. Kini engkau mulai melupakan
saudara sebangsamu, yang sementara ini hidup tersingkir, terbuang di tanahnya,
bahkan terhadap ribuan orang yang dari waktu ke waktu cepat kembali ke
pelukanku, karena timah panaspun, kau hanya menutup mata.
Anakku, kini kulihat
semua kebijakanmu hanya sarat KKN. Anakku.. entah sadar atau tidak, engkau kini
dibentuk menjadi sebuah sekrup, atau baut yang hanya menguatkan sebuah roda
raksasa, yang terus berputar. Tetapi sayangnya roda itu berputar ke arahmu,
yang akan menggilas bangsamu, masa depanmu dan anak cucumu, juga akan menggilas
hari esokmu, dan hari esok anak cucumu yang akan kau lahirkan. Anakku, sebagian
dari engkau telah mengenyam pendidikan. Sadarkah engkau? Anakku, sekali lagi;
sadarkah engkau dimana engkau berada, apa yang terjadi, dan di mana posisimu di
tengah permainan social, politik, dan ekonomi yang sarat kepentingan ini,
sebagai salah satu dari bangsa ini yang terpelajar?
Anakku…
Anakku…
Hatiku sedih. Hatiku
sakit, seperti diberondong ribuan sembilu rasanya, memikirkan masa depan kita.
Masa depan engkau anakku, dan anak cucumu nanti, dan masa depan aku, sebagai
ibumu. Jujur, masa depan kita suram, anakku. Bagaimana kiranya kehidupan kita kelak,
anakku?
Anakku, kini…di tengah
kebimbangan ini, aku sebagai ibumu, memintamu satu hal saja; merenunglah
sejenak, anakku. Ingat semua kebaikan kehidupan kita yang sangat harmonis itu.
Coba pahami, mengapa kita dahulu begitu harmonis, anakku. Sekarang, bandingkan
dengan kehidupan kita sekarang. Apa bedanya? Bukankah kehidupanmu dan
kehidupanku, dan kehidupan kita bersama sudah jauh melangkah, meninggalkan
kehidupan indah kita yang pernah kita rajut?
Anakku. Kau tahu
jawabannya. Anakku, kuminta janganlah menjadi sekrup yang menguatkan roda
raksasa ini, yang terus berputar ke arah kita untuk menggilas seluruh impian,
cita-cita, dan harapan hidup kita di tanah ini. Berhati-hatilah anakku, dalam
setiap tindakanmu. Di dalam benakmu, ingatlah selalu Tuhanmu, sesamamau
sebangsa, dan petuah dari leluhurmu. Ingat perjalanan hidup kita dahulu, sampai
saat ini.
Anakku, kini waktu tidak
akan menunggu kita. Ibumu ini, hanya dapat mengungkapkan perasaan padamu, hanya
melalui gejolak alam, tetapi tidak kau tangkap. Anakku, kini engkaulah tumpuan
harapanku. Engkaulah tumpuan harapan semua alam raya Papua. Engkaulah tumpuan
harapan saudara saudarimu sebangsa dan setanah air Papua. Kini, akan seperti
apa kehidupanmu kelak, haruslah kau tentukan dengan melakukan sesuatu, sekarang
juga. Ingat, saat ini juga anakku.. Anakku, sekali lagi, lakukan sesuatu
sekarang juga, demi kebaikan kehidupan kita bersama anakku. Demi kehidupanmu di
atas tanah ini sebagai sebuah bangsa. Demi kehidupan anak cucumu nanti. Demi
keharmonisan hidup kita.
Anakku…
Walau engkau mengkianatiku, engkau tetaplah Anakku. Engkau permata hatiku, dan takkan kubiarkan engkau sendirian. Buatlah sesuatu, saat ini juga, demi kehidupan kita yang lebih baik di hari esok, anakku.
Aku tetap mencintaimu, anakku, karena engkaulah anakku. Selamanya akulah ibumu, dan engkaulah mutiara terindah pemberian Dia yang di Atas, padaku, untuk kuasuh, dan kuanggap engkau anakku. Engkaulah permata hatiku, anakku; anakku Papua, pemilik hati putih, seputih salju abadi.
Walau engkau mengkianatiku, engkau tetaplah Anakku. Engkau permata hatiku, dan takkan kubiarkan engkau sendirian. Buatlah sesuatu, saat ini juga, demi kehidupan kita yang lebih baik di hari esok, anakku.
Aku tetap mencintaimu, anakku, karena engkaulah anakku. Selamanya akulah ibumu, dan engkaulah mutiara terindah pemberian Dia yang di Atas, padaku, untuk kuasuh, dan kuanggap engkau anakku. Engkaulah permata hatiku, anakku; anakku Papua, pemilik hati putih, seputih salju abadi.
Anakku, kini kutunggu
balasan surat darimu. Kutunggu balasan suratmu melalui tindakan dan aksi nyata.
Anakku, selamanya akulah ibumu, dan aku berada di setiap hidup, doa, karya dan
perjuanganmu. Bebaskanlah diriku, dirimu, dan bebaskanlah anak cucumu yang akan
hadir nanti di tanah Papua ini, dari tirani penindasan dan penderitaan ini.
Berjuanglah, ayo.. berdirilah, dan lakukanlah… gapailah masa depan yang indah
gemilang untuk kehidupan kita semua.
Salam dan doaku,
untukmu, anak-anak Papua. Dia yang di Atas akan selalu bersamamu, dalam setiap
perjuangan kebenaranmu. Dan salam dan doa dari roh-roh leluhurmu Papua, akan
senantiasa akan mengiringi langkahmu meniti jalan perjuangan ini. Berjuanglah
demi hidupmu dan hidup bangsamu di tanah Papua. Dari Ibumu tercinta untuk
anakku…Amin.
Pelabuhan
emaiyeida
Tidak ada komentar:
Posting Komentar